MENGATUR E M O S IJudul tulisan ini mungkin sudah sangat banyak di dengar dan dilihat di berbagai media dan hal ini sengaja penulis hadirkan kembali mengingat dan melihat gejolak emosi yang semakin meningkat di berbagai aspek masyarkyat. oleh penulis sengaja diulangi terus, karena bila kita mengkaji ulang berita-berita yang ditayangkan di media massa seperti, Koran, TV, internet dan lainya, ternyata masih selalu dipenuhi oleh adanya gejolak emosi tersebut, dalam arti kata mencari hal yang sensasional. Apakah hal itu tidak mendapatkan perhatian penuh oleh kita sendiri dan para pemimpin dan siapa pun? Apakah lalu berita yang tidak sensasional tidak menarik bagi masyarakat? Mendidik masyarakat sudah waktunya dilaksanakan.Di dalam pengembangan diri untuk mencapai suatu tingkatan tertentu menurut angan-angan kita masing-masing, kekuatan yang mendorong diri kita memperoleh tujuanya itu, merupakan hal yang sangat menentukan. Ini di dalam arti kata yang bisa saja dikatakan m e m b a n g u n atau m e r u s a k, bukan begitu kenyataanya?Sesuatu yang diusahakan dengan niat positif serta luhur, ditengah perjuangan bisa saja menjadi beralih dari tujuan tersebut, karena kita tidak mampu benar untuk dengan s e n g a j a dapat mengatur kekuatan atau potensi itu menjadi benar-benar positif didalam pendukungnya. Biasanya bila pengendalian gejolak itu kurang tuntas, sehingga dapat dikatakan “terumbang-ambing” akan selalu mengarah pada penyimpangan tujuan semula. Kebanyakan diantara kita mudah sekali dirangsang oleh gejolak E m o s i yang tanpa diketahui akan membuat kita menjadi emosional sampai meledak-ledak melaui kemarahan yang akan berakhir, bila tak diredakan , kepada tindakan baku hantam.Sering hal ini dapat penulis tangkap di dalam pembicaraan-pembicaraan yang pada mulanya tidak dipengaruhi oleh adanya gejolak emosi tadi. Mengapakah begitu mudah kita ini diatur oleh berkobarnya emosi, yang bila tidak diatur melalui pendidikan tuntas akan selalu membuahkan hal-hal yang terlepas dari suatu p e n g e n d a l i a n . Memang para pembaca, suatu cara bagaimana kita dengan t e l a k dapat mempunyai k e n d a l i terhadap gejolak e m o s i itu, tidak dapat ditanggpi dengan enteng. Hal ini akan jauh lebih menguntungkan daripada kerugian. Emosi akan selalu membawakan kelelahan dan efeknya pada tubuh lebih merusak daripada membangun. Penulis rasakan para pembaca telah banyak mengalami hal ini, tapi kurang d i s a d a r i .Banyak sekali hal-hal yang masih belum tuntas dibelajarkan pada diri kita yang menyangkut hal pengendalian emosi yang dapat mengobarkan gejolak ‘mata gelap’ yang dapat mempengaruhi perasaan yang sifat-sifatnya akan selalu merugikan daripada menguntungkan, bukan? Di dalam hal ini, kita sering kali lepas dari pengawasan pada diri sendiri, sehingga akhirnya tidak menuju kepada sesuatu yang dapat dibanggakan. Penyesalanya akan selalu t e r l a m b a t , bukan???Memang, pada masa ‘panca roba’ dimana kita sedang berada kini untuk menemukan j a t i d i r i bangsa yang dikatakan beradab yang sebenarnya, kita dihadapkan pada begitu banyak masalah atau problem, sehingga tidak mendapatkan kesempatan untuk meneliti d i r i s e n d i r i dengan telak dan tuntas. Perhatian pada diri sendiri inilah yang pada hakekatnya memberikan kita justru kebebasan dari kondisi yang dikenal dengan S T R E S. Dan hal ini jangan ditanggapi dengan ‘enteng’ atau di-‘remeh’-kan. Pembaca sendiri akan merasakan kerugianya dengan tak memperhatikan hal yang penulis kemukakan ini. Terutama yang akan diserang adalah ketenangan tubuh.Di dalam perjalanan hidup kita, yang sering kali dirundung oleh ketidak pastian, kita harus melebihi k e w a s p a d a a n kita terhadap segala bentuk informasi berupa berita, peristiwa dan lain sebagainya. Sebabnya adalah, bahwa informasi seperti itu dapat kita tanggapi sebagai sesuatu yang hanya lewat saja, tanpa adanya e f e k pada pengelolaan Pusat Pikir. Tapi, justru disinilah gejalanya, bahwa tak memperhatikan efeknya suatu informasi pada diri kita, baik itu merupakan kegembiraan, kebanggaan, kesedihan, ketakutan, kecemasan, keraguan dan lain-lain gejolak yang mempengaruhi diri kita, akan tidak memberikan hal efek yang bisa menguntungkan, membangun dan bukan merusak pengelolaan pikiran kita, yang tanpa diketahui akan membentuk suatu penglihatan atau visi yang terbatas..Kewaspaan atau ‘alertness’ dapat menghindarkan diri kita dari pengaruh yang biasanya lebih buruk daripada yang dapat disangka. Biasanya suatu informasi dengan bentuk apapun, akan l e w a t begitu saja tanpa adanya perhatian yang p a t u t dicurahkan pada informasi tersebut. Hal ini termasuk kualitas dari daya ingat dan konsentrasi kita yang terlalu sering dibantai oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu diperhatikan. Kebanyakan diantara kita selalu merasa L e m a h terhadap gejala tersebut.Tapi bagaimana pun dan apapun yang ditangkap melalui indra-indra kita yang fisik, biasanya dipenuhi dengan berbagai macam bentuk perasaan. Dan hal ini dapat saja menimbulkan perasaan-perasaan yang pada mulanya tak dapat dikenali dengan jelas, kurang terang dan tidak mempunyai kecerahan yang diperlukan di dalam meng-identifikasi sifat serta bentuk informasinya.Pernahkan para pembaca mempunyai perasaan seperti ini? Menurut penulis hal inilah yang sering kali dialami, bila pengelolaan pikiran tidak mempunyai pengendalian tuntas dalam mengelolanya. Kita sayangnya tidak memperhatikan dengan benar, bahwa lingkungan kita itu pada hakekatnya merupakan suatu pengaruh t u n t u n a n yang dapat mendalam sekali, bila kewaspadaan kita masih di dalam tingkatan biasa-biasa saja atau dangkal.Disinilah dapat dibangunkan suatu cara melaksanakan v e r i f i k a s i dari informasi apapun yang kita hadapi pada saat sedang didalam kondisi b a n g u n s a d a r. Seperti selalu penulis uraikan, kondisi bangun sadar yang tak di-d o m i n a s i oleh kemampuan bawah sadar, akan menghilangkan yang sangat kita perlukan, yaitu pengendalian dari k e p e k a a n i n t u i t i f, bukan begitu hendaknya???
Pandangan lain tentang EMOSI
Emosi” menurut Oxford English Dictionary, adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Ada dua macam emosi yang kita kenal, yaitu: “emosi negatif” dan “emosi positif”. Untuk bisa menjalani kehidupan dengan kegembiraan, kebahagiaan yang dinamis di sepanjang hidup Anda, maka Anda harus bisa mengatur dan mengendalikan “emosi Anda”.
Pandangan lain tentang EMOSI
Emosi” menurut Oxford English Dictionary, adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Ada dua macam emosi yang kita kenal, yaitu: “emosi negatif” dan “emosi positif”. Untuk bisa menjalani kehidupan dengan kegembiraan, kebahagiaan yang dinamis di sepanjang hidup Anda, maka Anda harus bisa mengatur dan mengendalikan “emosi Anda”.
Mengendalikan emosi tidak berarti Anda berhenti merasa, atau berhenti mengekspresikan diri Anda. Ini berarti, Anda harus bisa mengenali, dan bisa memahami; mana yang berupa “emosi positif” dan mana yang “emosi negatif”. “Emosi negatif” itu mempunyai ciri khas, yaitu membuat perasaan frustasi, putus asa, dendam, iri hati, dengki, dan hal negatif lainnya. Sedangkan ciri “Emosi positif” adalah selalu membuat perasaan Anda gembira, damai, sejahtera, rasa persahabatan, dan hal positif lainnya.
Memang kalau dipikirkan adalah sangat mengherankan, jika dalam setiap perilaku kita, peran emosi dalam pengendalian diri kita ternyata sangat besar. Anda mau semangat atau mau frustasi, itu juga merupakan hasil kerja emosi. Keputusan-keputusan dalam hidup kita, sebagian besar juga diambil berdasarkan emosi. Banyak sudah bukti, bahwa manusia dalam mengambil keputusan lebih sering didasarkan pada emosi. Penyair Inggris, Alexander Pope, yang pernah hidup 300 tahun lalu, mengatakan, “Nafsu yang memerintah, jadilah seperti keinginannya. Nafsu yang memerintah mengalahkan nalar pikiran”.
Banyaknya kasus-kasus kekerasan di negara kita ini, juga diakibatkan oleh mereka yang gagal dalam mengatur emosinya, sehingga mereka malah dikuasai dan diatur oleh “emosi negatif” yang sangat kuat. Bergolaknya pertempuran dan peperangan di belahan bumi lainnya, juga pasti diakibatkan oleh pemimpinnya yang tidak bisa mengendalikan emosi negatifnya. Sepanjang sejarah dunia, sudah banyak dicatat bahwa peran pengendalian emosi ini memang sangat mutlak sifatnya.
Jadi, adalah sangat penting dan mutlak sifatnya, bahwa kita, Anda dan saya memang harus bisa mengendalikan emosi diri, terlebih lagi emosi diri yang negatif. Intinya adalah, konsekuensi bertindak itu lebih berdasarkan emosi daripada nalar logika; sehingga bisa mengakibatkan dua macam hasil, yaitu: bisa mengubah kehidupan menjadi lebih baik…atau bahkan mengakhiri kehidupan selamanya, jika konsekuensi emosi tak terkendali. Salah satu kunci “kecakapan sosial” adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri.
Banyak contoh di negara kita ini, bagaimana bisa terjadi begitu banyak kasus kekerasan, pembunuhan, perampokan, kasus hamil di luar nikah, kecanduan obat-obatan berbahaya, naik motor “ugal-ugalan” di jalan raya, kasus “bonek” sepak bola, bahkan kasus korupsi uang rakyat, dan masih sederet panjang lagi kasus negatif yang merusak citra bangsa ini; yang dulunya lebih dikenal sebagai bangsa cinta damai dan ramah tamah. Dan, sekarang ini dikhawatirkan akan menjadi bangsa yang diperbudak oleh nafsu angkara, yang dikendalikan oleh “emosi negatif”. Ingatlah kalimat bijak ini, “Harapan utama suatu bangsa, terletak pada baiknya pendidikan kaum mudanya”.
Jika Anda menginginkan tetap memiliki pribadi positif dan dinamis, dengan semangat juang dan daya juang yang tidak pernah luntur; maka Anda harus sungguh-sungguh memahami dan menghargai “kekuatan emosi positif”, untuk kemudian belajar mengendalikannya. Emosi positif justru akan semakin mendorong Anda ke arah sasaran-sasaran Anda, dan membantu memenanginya. Kontrol emosi diri sangat penting bagi kesuksesan Anda. Tanpa itu, Anda bisa bertindak dengan “membabi buta”, dan tidak terarah secara benar.
Salah seorang dosen saya di seminari mengatakan bahwa dosa, "hamartia", bukan saja telah merusak relasi manusia dan Tuhan, dosa juga merusak tatanan hidup manusia secara psikologis. Hamartia yang bermakna "tidak mencapai sasaran yang tepat", dapat juga diartikan "kelebihan atau kekurangan" -- tidak tepat sasaran. Inilah salah satu persinggungan antara psikologi dan teologi. Nah, dalam kerangka pikir inilah saya berniat membahas masalah pengaturan emosi dalam relasi pernikahan.
Saya kira masalah utama dalam pengaturan emosi ialah masalah kelebihan dan kekurangan. Maksud saya, kalau bukan mengumbar emosi, kita menyumbat emosi alias tidak cukup mengekspresikannya. Sering kali hal-hal seperti inilah yang muncul dalam pernikahan, dan sudah tentu kondisi ini tidak sehat untuk pernikahan.
Jenis Relasi dari Sudut Emosi
Berangkat dari bingkai "kelebihan dan kekurangan", kita bisa membagi masalah pengaturan emosi dalam tiga jenis, dan ketiga jenis ini merefleksikan tipe relasi dan kepribadian suami-istri.
Tipe pertama adalah tipe ketel mendidih; saya menjulukinya ketel mendidih sebab baik suami maupun istri tergolong vokal dan ekspresif dalam mengungkapkan emosinya. Tipe ini mudah bergejolak dan tidak tahan dengan hati yang panas. Bak kecipratan air panas, orang dengan tipe ini langsung mengibaskan air panas itu tanpa memedulikan siapa yang berada di dekatnya dan apa dampak perbuatannya terhadap orang lain. Yang penting adalah ia berhasil meredakan suhu panas yang menempel di kulit hatinya.
Tipe ketel mendidih adalah tipe yang mudah meledak namun gampang melupakan pula. Dengan kata lain, suami-istri yang masuk dalam kategori ini sering bertengkar tetapi pertengkaran mereka biasanya tidak berlangsung berminggu-minggu. Masalahnya adalah, meski tidak berminggu-minggu, setiap minggu mereka akan bersitegang dan kalau tidak berhati-hati, akan mudah sekali terjadi pemukulan dan penganiayaan.
Sekali lagi saya tekankan, orang tipe ketel panas ini tidak bisa hidup dengan hati yang panas. Hati panas harus didinginkan dengan seketika dan caranya adalah dengan mengeluarkan uap panas itu dengan segera. Jadi, letak problemnya bukan pada ketidakadaan sistem kontrol; problemnya terletak pada sistem kontrol itu sendiri. Sistem itu mengendalikan suhu panas dengan cara memuntahkan uap panas ke luar dan ia tidak tahu cara lainnya.
Tipe kedua adalah tipe kapuk; saya memanggilnya kapuk karena kapuk bukanlah pengantar panas yang baik. Itulah sebabnya kapuk digunakan untuk membungkus pegangan kuali panas atau benda panas lainnya; dengan adanya lapisan kapuk, tangan kita terlindung dari suhu panas. Problem utama dengan suami-istri berkategori kapuk ini adalah mereka kurang mengeluarkan emosi, begitu kurangnya sehingga dapat dikatakan mereka jarang membagi perasaan dengan pasangan. Segala sesuatu yang dianggap dapat mengganggu stabilitas relasi akan diredam dan kalau bisa, disangkali keberadaannya.
Pasangan dengan tipe ini jarang bertengkar namun mereka juga tidak terlalu intim. Keintiman menuntut keterbukaan dan bagi orang dengan tipe ini, keterbukaan bukanlah sesuatu yang terjadi dengan alamiah. Suami-istri tipe kapuk memilah hidup mereka dengan saksama dan hanya menyatukan bagian hidup mereka yang relatif ringan -- tidak mengundang risiko terjadinya konflik. Mereka bergantung pada daya lupa dan rasionalisasi untuk menurunkan suhu panas di antara mereka. Bak sabuk kapuk yang menutupi gagang ketel panas, mereka menggunakan daya lupa dan rasionalisasi untuk menyerap suhu panas itu dan memang, setelah beberapa saat, suhu panas itu akan turun.
Masalah timbul bila daya lupa kita berkurang dan problem malah bertambah. Dalam kondisi seperti itu, akhirnya kita terpaksa mengingat peristiwa yang terjadi sebab besaran masalah yang (ingin) dilupakan tidak sebanding dengan besaran problem yang muncul. Masalah juga dapat muncul tatkala daya rasionalisasi berkurang, artinya kita gagal menghibur diri dengan cara menambah pengertian kita akan kondisi pasangan. Pada akhirnya kita berkata, kita tidak lagi dapat atau mau memahami kondisi pasangan. Di saat itulah sabuk kapuk tidak lagi berfungsi optimal menyerap panas dan akhirnya suhu panas terasakan. Dapat kita duga, jika ini yang terjadi, berarti panas itu sudah sangat panas dan kesanggupan untuk berasionalisasi dan melupakan telah meleleh. Dengan kata lain, pada titik itu, kapasitas untuk menyelesaikan problem dengan rasional sudah menguap. Masalah menjadi sulit dipecahkan.
Tipe ketiga adalah tipe kombinasi antara ketel panas dan kapuk. Jadi di sini, yang satu berjenis ketel panas dan yang satunya berjenis kapuk; keduanya bersatu dalam pernikahan. Sebagaimana tipe lainnya, tipe ini pun memiliki kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya adalah mereka bisa saling mengimbangi. Jika yang satu sedang meluapkan suhu panasnya, yang lain dapat menyerap suhu panas itu tanpa perlawanan berarti. Atau, bila yang satu mengunci diri dan menolak untuk menyuarakan ketidaksukaannya, yang lain akan merasa terganggu dengan sikap diam itu dan memaksanya untuk berkata-kata. Dengan cara seperti inilah problem di antara mereka lebih cepat terselesaikan.
Kelemahannya ialah, jika tidak berhati-hati, yang berjenis kapuk akan mudah merasa tertekan oleh uap panas yang dilontarkan dengan begitu mudahnya. Sebaliknya, yang berjenis ketel panas malah "menikmati" kebebasannya memuntahkan uap panas sebab pasangannya tidak bereaksi dan hanya menerima. Mungkin kita dapat menebak akhir dari relasi seperti ini: mereka akan makin renggang sebab yang menyerap tidak lagi bersedia dekat atau intim dengan pasangannya. Ia terlalu banyak menyimpan luka! Sebaliknya, yang bertipe ketel panas akan makin frustrasi karena merasa diabaikan dan kondisi frustrasi ini membuatnya makin agresif meluapkan kemarahannya. Demikianlah siklus ini berawal dan terus berputar tanpa henti.
Penyelesaian
Apa pun tipe kita, yang penting adalah kita mampu mengatur suhu emosi -- meningkatkannya bila terlalu dingin dan menurunkannya jika terlalu panas. Sebagaimana telah kita lihat, emosi merupakan elemen yang menciptakan keintiman. Pengungkapan emosi membukakan lapisan- lapisan pada diri kita dan mengundang pasangan untuk mengenal diri kita secara lebih mendalam. Namun, pengungkapan emosi yang berlebihan bisa menenggelamkan relasi nikah dan menghancurkan hati pasangan. Bukannya mendekat, ia malah menjauh karena takut tersiram air panas dari mulut kita, atau sebaliknya, ia menjauh sebab tidak ada lagi respons dari kita sama sekali.
Saya kira kita semua rindu untuk menjadi orang yang dapat mengatur suhu emosi dengan tepat. Kita mendambakan relasi yang intim tanpa harus melelehkan hati orang yang kita kasihi dan kita menginginkan relasi yang damai tanpa harus membekukan hatinya. Kita ingin menjadi orang yang "tepat emosi" dan "tepat kata" . Perjuangan kita adalah perjuangan mengeluarkan buah apel emas dari mulut kita, bukan buah apel kecut, atau malah busuk. Pertanyaannya adalah, bagaimanakah kita melakukannya dan hal inilah yang akan kita telaah sekarang.
Memahami perbedaan
Pertama, kita mesti menyadari bahwa masalah pengaturan suhu emosi merupakan masalah yang multidimensional. Penyederhanaan masalah tidak akan memberi solusi, malah menimbulkan kesan penghakiman yang semena-mena. Sekurang-kurangnya ada tiga dimensi yang perlu kita perhatikan. Pertama adalah faktor kepribadian. Ada sebagian kita yang bertemperamen flegmatis. Dan faktor kepribadian ini secara langsung berpengaruh terhadap betapa mudah dan berkobarnya pengekspresian emosi. Biasanya para insan flegmatis tidak begitu cepat mengeluarkan emosi dan secara keseluruhan memang level emosinya cenderung datar, berbeda dengan insan kolerik, sanguin, dan melankolik yang cenderung lebih terbuka dan seketika.
Kedua, faktor pengalaman masa kecil. Sebagian dari kita terbiasa mengutarakan emosi karena memang diizinkan oleh orang tua atau sebaliknya, tidak diizinkan namun situasi rumah yang penuh konflik membuat kita tergenangi oleh kemarahan. Akibatnya, kendati tidak diizinkan secara verbal, pertengkaran demi pertengkaran orang tua yang kita saksikan menanamkan benih emosi marah dan menciptakan pola pengendalian emosi yang eksplosif. Kita tidak tahu cara lain untuk mengomunikasikan emosi selain dengan berteriak atau membanting barang. Dengan tersedianya cadangan emosi negatif di hati kita, ledakan kemarahan lebih mudah tersulut. Di sini kita dapat melihat bahwa pengalaman masa lampau berpengaruh besar terhadap pengaturan suhu emosi.
Ketiga, faktor lingkungan hidup. Pernah saya berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang bertumbuh besar di lingkungan keras dan kumuh di sebuah kota besar. Ia bercerita bahwa kekerasan sudah menjadi bagian hidupnya sejak kecil dan pada akhirnya ia pun terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Sebaliknya, ada sebagian kita yang dibesarkan di lingkungan yang santun dan cenderung represif terhadap penyataan emosi. Tidak bisa tidak, lingkungan tenang akan lebih mendorong kita untuk menahan emosi, bukan mencetuskannya.
Saya berharap ketiga dimensi ini memberi kita sedikit pemahaman terhadap kekompleksan masalah pengaturan suhu emosi. Jadi, kita tidak dapat dan tidak seharusnya dengan cepat melabelkan seseorang "kurang rohani" tatkala ia memunyai masalah dengan pengaturan emosi. Bagi sebagian kita, pengaturan emosi tidak pernah menjadi masalah; sebaliknya, bagi sebagian lainnya, pengaturan emosi selalu menjadi masalah -- baik itu karena kelebihan maupun karena kekurangan.
Fokus pada masalah
Masalah pengendalian emosi adalah masalah emosi, bukan masalah kurang mencintai atau kurang peduli dengan keluarga. Acap kali kita mengaitkan masalah emosi dengan hal lain dan ini dapat memerburuk relasi nikah. Mungkin sulit untuk kita percaya bahwa orang yang bisa membanting-banting barang tatkala marah sesungguhnya tetap mengasihi kita dan bahwa cintanya kepada kita tidak berkurang setelah ia marah. Contoh ekstrim ini (yang sudah tentu tidak saya anjurkan) menegaskan bahwa memang masalah pengendalian emosi adalah masalah emosi, bukan masalah cinta atau kurang memedulikan keluarga.
Jadi, bila kita bermasalah dengan pengendalian emosi, sering-seringlah meyakinkan pasangan kita bahwa kita tetap mengasihinya. Akuilah bahwa masalah kita yang utama adalah masalah pengendalian emosi dan jangan salahkan orang lain atau situasi luar. Salah satu godaan terbesar bagi kita yang memunyai masalah dengan emosi adalah menyalahkan, baik itu pasangan atau anak atau faktor luar lainnya, seakan-akan kita hanyalah si pemberi reaksi sedangkan merekalah yang bertanggung jawab sebagai pemicu emosi kita. Atau sebaliknya, jika kita cenderung diam dan menutup diri, kita menyalahkan pasangan kita sebagai pihak yang bertanggung jawab membuat kita kurang mengekspresikan emosi.
Dengan kata lain, fokuskan pada masalah juga berarti memfokuskan pada tanggung jawab pribadi. Inilah langkah awal untuk mengatur emosi. Dengan kita mengalihkan tanggung jawab ke pundak pribadi, secara tidak langsung kita mengalihkan fokus masalah, dari "Kamu membuat saya marah!" menjadi "Saya harus menguasai kemarahan saya!" Jika kita tetap bertahan pada pandangan bahwa orang lainlah yang membuat kita marah, kita menjadikan diri tidak berdaya dan berperan sebagai korban semata. Dan, dengan menjadikan diri tidak berdaya dan hanya berperan sebagai korban, kita benar-benar menjadi tidak berdaya mengendalikan diri sendiri, seakan-akan kita berada pada kemurahan orang belaka. Jika orang membuat kita marah, kita marah; sebaliknya, bila orang tidak membuat kita marah, kitapun tidak akan marah. Perspektif seperti ini melepaskan kita dari tanggung jawab dan membuat kita tidak terlalu merasa bersalah tatkala kita menghancurkan hidup orang lain.
Bergiliran
Masalah pengendalian emosi sebenarnya adalah masalah kekurangteraturan -- munculnya emosi secara tidak teratur. Jadi, salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan memasukkan keteraturan ke dalam pola komunikasi kita. Sejak TK, kita belajar untuk hidup teratur; masuk kelas dengan berbaris, berbicara bergantian, bertanya bergiliran, dan seterusnya. Tanpa terasa, iklim keteraturan mulai tercipta dan inilah rahasia mengapa suasana kelas bisa berjalan dengan begitu adem -- tanpa banyak adegan dan gejolak.
Biasanya pertengkaran memburuk tatkala kita mulai berebut berbicara -- laju percakapan bertambah cepat karena kita menganggap pasangan tidak mendengarkan kita lagi atau kita merasa kian terdesak. Itulah sebabnya penting bagi kita untuk menerapkan aturan "bicara bergantian" di mana seseorang memunyai hak untuk berbicara dan kewajiban untuk mendengarkan. Di dalam kerangka keteraturan ini, luapan emosi lebih terkendali sebab kita tidak merasa diburu-buru untuk menyampaikan isi hati kita. Keteraturan juga berfaedah bagi sebagian kita yang mengalami kesulitan mengekspresikan emosi. Kita "dipaksa" untuk menguraikan pendapat dan perasaan hati karena giliran kita telah tiba. Singkatnya, keteraturan membantu kita untuk mengatur emosi dan menyalurkannya dengan lebih bijak. Ternyata, pelajaran TK ini sangat berfaedah sampai usia dewasa.
KesimpulanDalam praktik ini, saya telah menjumpai pelbagai masalah rumah tangga. Ada yang terganggu oleh kehadiran pria atau wanita lain, ada yang terganggu oleh anak yang bermasalah, dan ada yang terganggu oleh tragedi yang menimpa mereka. Namun, penyebab kehancuran rumah tangga yang paling umum ternyata bukanlah salah satu dari ketiga contoh yang saya sebut di atas. Emosi kitalah yang menghancurkan relasi kehidupan jauh sebelum problem lain itu mengemuka, baik itu ekspresi emosi yang berlebihan atau yang berkekurangan. Kesimpulan akhirnya adalah, jika kita ingin menyelamatkan jiwa ketentraman berfikir dan berbuat kita jauh sebelum masalah berat lainnya datang, mulailah dengan mengatur suhu emosi kita -- sekarang?
HORAS JALA GABE BY :JEKSON
HORAS JALA GABE BY :JEKSON
No comments:
Post a Comment