Saturday, June 19, 2010




ETIKA


Dalam bukunya An Introduction to Ethics, W. Lilie memberi definisi “etika” sebagai ilmu pengetahuan normatif mengenai kelakuan manusia dalam kehidupannya di masyarakat. Dari pendapat tersebut—juga pendapat ahli-ahli yang lain, dapat disimpulkan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang menjadi bagian dari filsafat moral. Ketiga hal ini dapat dihubungkan sebagai berikut; etika merupakan filsafat moral dan filsafat moral adalah bagian dari filsafat yang disebut filsafat praktis. Dan berbicara tentang filsafat maka tak dapat dilepaskan dari konteks asal-usulnya sebagai ilmu pengetahuan karena kedudukan filsafat yang menjadi induk ilmu pengetahuan.
Lantas apakah dengan demikian kedudukan etika otomatis menjadi ilmu pengetahuan? Kaum positivis menyatakan bahwa Etika bisa menjadi suatu penyelidikan yang menarik, tetapi tidak pernah menjadi suatu ilmu. Aliran positivisme memandang bahwa metode ilmiah (scientific method) merupakan salah satu ukuran matematik, eksak, tetapi kebajikan (virtue) dan keburukan (ice) tidak pernah bisa diukur secara matematis. Ilmu merupakan hasil predikasi yang didasarkan pada hipotesis dan diikuti oleh penyelidikan eksperimental. Ini bertolak belakang dengan etika yang sifatnya relatif.
Namun, ilmu pengetahuan bukanlah hal yang terbatas pada aplikasi fisik dan eksperimental semata. Ilmu tidak hanya bersifat teoretis dalam pengertian hanya untuk mengenal bagaimana objeknya, tetapi juga praktis. Artinya untuk mengenal bagaimana seharusnya orang bertindak. Ilmu tak hanya deskriptif tetapi juga normatif.
Jadi, jika diambil suatu kecenderungan etika dan ilmu. kedua-duanya bergerak dalam tataran relatif. Karena sebuah ilmu yang tidak dilandasi etika, maka akan cenderung tidak terkontrol dan mengabaikan nilai-nilai moral. Jadi harus ada sinergi antara etika dan ilmu. Memang untuk dapat menjadi ilmu, etika harus (antara lain) bersifat kritis, metodologis dan sistematis. Kritis artinya setiap penerimaaan atau pernyataan harus mempunyai dasar yang cukup. Metodologis artinya dalam proses berpikir dan menyelidiki menggunakan suatu cara tertentu. Sistematis artinya bahwa pemikiran ilmiah dalam prosesnya dijiwai oleh suatu ide yang menyeluruh dan menyatukan sehingga pikiran-pikiran dan pendapat-pendapatnya tidak tanpa hubungan tetapi menjadi suatu kesepakatan (Makmurtono, 1989: 16).
Demikian halnya dengan etika ilmu komunikasi, menjadi domain pengetahuan yang digunakan umtuk melakukan kajian terhadap perilaku dan hasil kerja pelaku profesi bidang komunikasi. Jadi etika komunikasi berbicara masalah kajian profesi komunikasi dengan berlandaskan pada nilai sosial, teori normatif, nilai filsafat etika dan standar moral profesi sebagai perangkat analisis (Siregar,1993:10).
Relativitas etika hanya bergerak dalam tataran bentuk, sedangkan prinsip-prinsipnya adalah sama. Sebagai contoh cara menyapa orang Indonesia berbeda dengan orang Jepang. Sebenarnya etika mereka hanyalah berbeda pada bentuk norma moralnya saja. Norma moral yang dianut orang Indonesia adalah saat bertemu orang yang dikenal, harus bersalaman atau jika tidak, maka dianggap kurang sopan. Sementara di Jepang, sesorang harus membungkuk terlebih dahulu untuk memberi kesan sopan pada orang lain. Nah, berarti prinsip-prinsip etikanya mutlak (absolut) dalam kesopanan sedangkan relatif dalam bentuk norma moralnya.
Pengertian Etika dan Kode Etik
Etika adalah sebuah studi tentang formasi nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip benar dan salah (Altschull, 1990). Dalam kaitannya dengan jurnalistik, etika merupakan perspektif moral yang diacu dalam mengambil keputusan peliputan dan pemuatan fakta menjadi berita. Etika terbagi dua: Substantif, wilayah moral personal untuk mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Operasional, wilayah teknis berupa panduan bagaimana meliput dan memuat sebuah peristiwa. Konsep terkini dari etika jurnalisme adalah mendahulukan pelayanan kemanusiaan lebih besar daripada kehendak pribadi. Jurnalis profesional mempercayai bahwa tujuan jurnalisme adalah untuk menyajikan kebenaran. Untuk itu, sejumlah prinsip etis harus dipakai seperti akurasi, objektif, natral, dan sebagainya (Kovach dan Rosenstiel, 2001).
Kode Etik adalah peraturan moral, atau pedoman dari tingkah laku yang membantu aksi personal dalam situasi khusus. Dalam konteks jurnalistik, kode etik memegang peranan yang sangat penting dalam dunia pers. Sebagai pedoman nilai-nilai profesi kewartawanan, Kode Etik Jurnalistik wajib dipahami dan dilaksanakan oleh waratwan. Penataan dan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik juga merupakan wujud dari profesionalisme pers. Menurut Sukardi (2007: 5) terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kode etik dengan hukum. Walaupun sama-sama terhimpun dalam peraturan yang tertulis, kode etik mempunyai beberapa karakteristik yang ebrbeda dengan hukum. Setidak-tidaknya terdapat empat perbedaan,yaitu (1) soal sanksi, (2) ruang lingkup, daya laku, atau daya jangkau, (3) prosedur pembuatannya, (4) formalitas dan sikap batiniah.
Menurut Alwi Dahlan (2005, sebagaimana dikutip Sukardi, 2007: 25), keberadaan kode etik setidak-tidaknya memiliki lima manfaat:
a. Melindungi keberadaan seorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malpraktik oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antar praktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi; dan
e. Mencegah manuipulasi informasi oleh narasumber

Di sisi lain, sebagaimana tercantum dalam preambule kode etik jurnalistik (KEJ) tahun 2006, kode etik dibuat sebagai pertimbangan bahwa dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, media massa harus menghormati hak asasi publik audiesnya, karena itu media dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Salah satu cara menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik sebagai panduan dalam menjalankan profesinya.
Pengertian Kebijakan dan Hukum Media
Suatu kebijakan memperlihatkan bentuk perhatian dari pemerintah dan juga masyarakat tentang bagaimana membentuk dan mengatur aktivitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi, termasuk aktivitas media agar dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umum.
Sedangkan hukum, secara legal dan formal mengikat peraturan yang telah disahkan oleh badan pembuat Undang-undang, dilaksanakan oleh kekuatan eksekutif, dan proses hukumnya diatur oleh pengadilan. Kebijakan seringkali berubah menjadi hukum, agar kebijakan tersebut dapat menjadi sesuatu yang legal dalam mengikat seseorang dan perusahaan. Hukum dalam jurnalistik adalah aturan tertulis yang melindungi hak dan kewajiban jurnalistik yang bersumber dari nilai-nilai sosial, norma budaya dan kebutuhan kolektivitas dalam suatu negara dan kelompok masyarakat.
Di Amerika, kebijakan pemerintah diperoleh dari wakil rakyat yang dipilih dalam kongres atau badan pembuat undang-undang, yang ditetapkan hakim kepada berbagai pengadilan. Badan hukum juga membuat kebijakan berdasar pada keputusan mereka sendiri, seperti jenis jasa apa yang yang ditawarkan dan berapa harganya. Beberapa institusi yang penting dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain (1) The Federal Communications Commission (FCC), komisi yang mengatur sebagian besar aspek komunikasi, (2) The National Telecommunication and Information Administration (NITA), badan yang melindungi beberapa aspek dari kebijakan penelitian dan kebijakan Internasional, dan (3) The Federal Trade Commission (FTC), komisi yang memonitor kegiatan perdagangan dan bisnis. Kongres mengesahkan hukum tentang komunikasi. Departemen Kehakiman dan Sistem Peradilan, terutama Pengadilan wilayah Federal melaksanakan dan mengartikan hukum yang ada.
Terdapat dua pengertian hukum. Yakni Hukum dalam arti materiil dan hukum dalam arti formil. Dalam arti materiil, hukum adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum dan mengikat secara umum. Dalam arti formil, hukum adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum dan mengikat secara umum. Perundangan memiliki dua pengertian. Pertama, merupakan proses pembentukan peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, merupakan segala peraturan negara yang dihasilkan dari pembentukan peraturan-peraturan baik ditingkat pusat maupun daerah (Masduki, 2006).
Tiga prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Yaitu prinsip yuridis, sosiologis dan filosofis. Prinsip yuridis: UU dapat muncul karena atribusi maupun delegasi dari aturan yang lebih tinggi misalnya konstitusi atau TAP MPR. Contoh: UU Penyiaran pengganti UU No. 24 tahun 1997 telah mendapat mandat untuk dibuat dari UUD 1945 yang diamandemen, TAP MPR yang memuat jaminan tehadap kebebasan informasi dan adanya kekurangan pengaturan pada UU Pers No. 40 tahun 1999 maupun UU No. 24/1997. Baik UUD 1945 maupun TAP MPR No. XVII/1999 belum secara rinci mengatur kehidupan penyiaran karena sifat keduanya yang begitu makro dan abstrak.
Prinsip sosiologis: kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini dimaknai secara komprehensif dengan melihat aktor-aktor yang terlibat dan kepentingan yang diakomodasi, bukan hanya menyangkut perluasan representative democracy melalui DPR/DPRD tetapi juga partisipatory democracy, sejauh mana partisipasi publik itu terserap sesuai dengan tuntutan dan juga harapannya. Prinsip filosofis: setiap pembentukan peraturan perundangan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan apa yang dapat mereka harapkan dari hukum yang akan dibentuk, misalnya sebagai sarana mencari keadilan, ketertiban dan kesejahteraan.
Meski demikian, menurut Masduki (2006), hukum adalah produk atau kristalisasi normatif dari kehendak-kehendak publik yang saling bersaing sehingga produk hukum memiliki karakter yang sesuai konfigurasi publik yang melahirkannya. UU sebagai produk hukum tidak berada di “ruang hampa”. Ia merupakan hasil dari proses politik dan ekonomi sehingga karakternya diwarnai konfigurasi kekuatan politik dan ekonomi yang melahirkannya.

No comments: