Manusia sering salah dalam menilai harga dirinya, kadangkala terlampau tinggi, kadangkala terlalu rendah. Sangat jarang seseorang dapat dengan tepat menilai harga dirinya. Sebagai sebuah contoh perenungan mari kita lihat kesalahan orang dalam menilai harga dirinya, yaitu dalam keluarga.
Seorang suami cenderung merasa bahwa dia lebih bernilai dari istrinya, sebab suami merasa dia adalah orang yang mencari uang. Jadi karena suami merasa semua kebutuhan keluarga baru bisa dipenuhi karena uang yang diperolehnya maka dia berpikir dirinya lebih berharga daripada istrinya. Perasaan lebih berharga ini kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan yang menempatkan istrinya lebih rendah dari suami. Ketika makan harus dilayani istri, jika tidak dilakukan suami marah. Ketika istri minta uang, dengan gaya interogasi menanyakan untuk keperluan apa uang yang diminta tersebut. Bahkan tidak jarang ada suami yang tidak mengijinkan istrinya mengambil putusan apapun dalam keluarga, semua harus suami yang memutuskan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Hal ini dianggap wajar dalam sebuah hubungan suami istri, padahal ini adalah wujud dari penilaian suami yang terlampau tinggi pada dirinya. Suami merasa wajar kalau harga dirinya lebih utama dari istrinya.
Situasi ini dalam kasus tertentu bisa berganti posisi yaitu istri yang merasa dirinya lebih bernilai dibandingkan suaminya. Coba kita pikirkan secara mendalam, benarkah jika orang yang bekerja lalu menghasilkan uang, dia lebih berharga dibandingkan orang yang tidak bekerja? Jika perbandingan ini dilakukan diantara orang bekerja dan pengangguran, maka jawabannya, ya. Namun apabila perbandingan ini dilakukan dalam hubungan suami istri, maka telah terjadi kesalahan yang fatal. Suami dan istri dalam sebuah keluarga tidak ada yang lebih utama, mereka sejajar. Jika hubungan ini tidak sejajar maka keluarga ini tidak beres. Suami yang bekerja dan mendapatkan uang tidak berhak mengklaim dia lebih berharga dibanding si istri. Suami bekerja dan punya uang itu sudah menjadi kewajibannya. Apa yang merupakan kewajiban tidak bisa kita tuntut sebagai sebuah keunggulan.
Sebagai ilustrasi: tukang becak kita bayar lalu dia antar kita ke tujuan, sesampai di tujuan apakah boleh tukang becak tersebut berkata saya berjasa sudah mengantar penumpang. Tukang becak tidak dapat mengatakan dia sudah berjasa, karena dia wajib mengantar penumpang yang sudah membayarnya. Sebuah pelaksanaan kewajiban tidak bisa dikatakan perbuatan yang hebat. Orang tua wajib mengurus anaknya, maka ketika orang tua mengurus anak dengan baik itu bukanlah hal-hal yang harus mendapat penghargaan, hal itu sudah seharusnya dan biasa saja. Jadi boleh saja suami minta dilayani istrinya, namun dalam sudut pandang bahwa suami merasa perlu adanya orang yang menolong dia. Sebaliknya istri mau melayani suami karena mau menjadi penolong suami.
Kegagalan dalam menilai harga diri secara tepat ini menjadi sumber dari kehancuran dalam banyak rumah tangga. Ketika seseorang merasa harga dirinya lebih tinggi dari orang lain maka cenderung orang tersebut akan mendominasi orang lainnya. Setelah kita melihat fakta bahwa di dalam hubungan suami-istri persoalan harga diri seringkali salah tempat, tapi untuk selanjutnya pembahasan tidak akan mengenai persoalan harga diri dalam keluarga. Namun kami ingin mencari akar dari salahnya persepsi manusia akan harga diri dan bagaimana Tuhan memperbaiki kesalahan manusia ini.
Sejarah penyimpangan manusia sehingga gagal untuk bisa menilai harga dirinya dengan tepat adalah saat manusia ingin seperti Apa. Pada saat manusia diciptakan , maka terjadi suatu hubungan yang istimewa antara pencipta dan ciptaan. Namun hubungan istimewa ini tidaklah berarti bahwa terjadi kesetaraan antara pencipta dan ciptaan. Pencipta adalah otonom, Dia tidak tergantung kepada ciptaan. Keberadaannya mandiri, bebas dari intervensi siapapun karena Dia yang berdaulat.
Pencipta tidak bisa diatur karena Dia adalah aturan itu sendiri. Sedangkan ciptaan adalah makhluk yang bergantung kepada pencipta. Ciptaan tidak mandiri namun tunduk pada pencipta dan diatur oleh pencipta. Keberadaan manusia dalam taman eden adalah wujud daripada kesempurnaan yang diberikan pencipta dalam menempatkan ciptaan. Namun kesempurnaan rancangan pencipta di hancurkan oleh ambisi manusia. Ciptaan yang sempurna menjadi gagal dihadapan pencipta yaitu ketika menerima tawaran iblis supaya harga dirinya meningkat menjadi sama dengan pencipta.
Manusia yang dijadikan dari tidak ada menjadi ada ingin supaya menjadi setara dengan penciptah yang maha ada. Ketika pikiran ingin menjadi seperti pencipta ini diwujudkan maka bukan keberhasilan yang diperolehnya namun sebuah kegagalan yang didapatkan. Ketika manusia gagal dan dinyatakan sudah berdosa, maka ukuran harga dirinyapun menjadi kacau. Ambisi manusia untuk menjadi seperti pencipta terus tertanam menjadi sifat egois, mau menang sendiri, merasa dirinya lebih utama dari yang lain dan ini terus diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh karena persoalan harga diri, bangsa dengan bangsa berperang. Karena harga diri Hitler menjadi pembantai 6 juta orang Yahudi. Demi harga diri terjadi pembantaian suku suku dan etnis diberbagai belahan dunia. Oleh karena harga diri banyak orang rela membunuh orang lain demi membela iman kepercayaannya.
Harga diri manusia harus dikembalikan pada posisi yang tepat, untuk hal ini pencipta sangat mengerti. Harga diri manusia oleh pencipta mau dikembalikan pada posisi yang sebenarnya yaitu sebagai ciptaan yang berharga di mata pencipta. Apa tindakan pencipta, untuk mengembalikan posisi manusia? tetapi ini adalah tindakan pencipta yang mau menurunkan harga dirinya sehingga sama dengan manusia
Seorang suami cenderung merasa bahwa dia lebih bernilai dari istrinya, sebab suami merasa dia adalah orang yang mencari uang. Jadi karena suami merasa semua kebutuhan keluarga baru bisa dipenuhi karena uang yang diperolehnya maka dia berpikir dirinya lebih berharga daripada istrinya. Perasaan lebih berharga ini kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan yang menempatkan istrinya lebih rendah dari suami. Ketika makan harus dilayani istri, jika tidak dilakukan suami marah. Ketika istri minta uang, dengan gaya interogasi menanyakan untuk keperluan apa uang yang diminta tersebut. Bahkan tidak jarang ada suami yang tidak mengijinkan istrinya mengambil putusan apapun dalam keluarga, semua harus suami yang memutuskan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Hal ini dianggap wajar dalam sebuah hubungan suami istri, padahal ini adalah wujud dari penilaian suami yang terlampau tinggi pada dirinya. Suami merasa wajar kalau harga dirinya lebih utama dari istrinya.
Situasi ini dalam kasus tertentu bisa berganti posisi yaitu istri yang merasa dirinya lebih bernilai dibandingkan suaminya. Coba kita pikirkan secara mendalam, benarkah jika orang yang bekerja lalu menghasilkan uang, dia lebih berharga dibandingkan orang yang tidak bekerja? Jika perbandingan ini dilakukan diantara orang bekerja dan pengangguran, maka jawabannya, ya. Namun apabila perbandingan ini dilakukan dalam hubungan suami istri, maka telah terjadi kesalahan yang fatal. Suami dan istri dalam sebuah keluarga tidak ada yang lebih utama, mereka sejajar. Jika hubungan ini tidak sejajar maka keluarga ini tidak beres. Suami yang bekerja dan mendapatkan uang tidak berhak mengklaim dia lebih berharga dibanding si istri. Suami bekerja dan punya uang itu sudah menjadi kewajibannya. Apa yang merupakan kewajiban tidak bisa kita tuntut sebagai sebuah keunggulan.
Sebagai ilustrasi: tukang becak kita bayar lalu dia antar kita ke tujuan, sesampai di tujuan apakah boleh tukang becak tersebut berkata saya berjasa sudah mengantar penumpang. Tukang becak tidak dapat mengatakan dia sudah berjasa, karena dia wajib mengantar penumpang yang sudah membayarnya. Sebuah pelaksanaan kewajiban tidak bisa dikatakan perbuatan yang hebat. Orang tua wajib mengurus anaknya, maka ketika orang tua mengurus anak dengan baik itu bukanlah hal-hal yang harus mendapat penghargaan, hal itu sudah seharusnya dan biasa saja. Jadi boleh saja suami minta dilayani istrinya, namun dalam sudut pandang bahwa suami merasa perlu adanya orang yang menolong dia. Sebaliknya istri mau melayani suami karena mau menjadi penolong suami.
Kegagalan dalam menilai harga diri secara tepat ini menjadi sumber dari kehancuran dalam banyak rumah tangga. Ketika seseorang merasa harga dirinya lebih tinggi dari orang lain maka cenderung orang tersebut akan mendominasi orang lainnya. Setelah kita melihat fakta bahwa di dalam hubungan suami-istri persoalan harga diri seringkali salah tempat, tapi untuk selanjutnya pembahasan tidak akan mengenai persoalan harga diri dalam keluarga. Namun kami ingin mencari akar dari salahnya persepsi manusia akan harga diri dan bagaimana Tuhan memperbaiki kesalahan manusia ini.
Sejarah penyimpangan manusia sehingga gagal untuk bisa menilai harga dirinya dengan tepat adalah saat manusia ingin seperti Apa. Pada saat manusia diciptakan , maka terjadi suatu hubungan yang istimewa antara pencipta dan ciptaan. Namun hubungan istimewa ini tidaklah berarti bahwa terjadi kesetaraan antara pencipta dan ciptaan. Pencipta adalah otonom, Dia tidak tergantung kepada ciptaan. Keberadaannya mandiri, bebas dari intervensi siapapun karena Dia yang berdaulat.
Pencipta tidak bisa diatur karena Dia adalah aturan itu sendiri. Sedangkan ciptaan adalah makhluk yang bergantung kepada pencipta. Ciptaan tidak mandiri namun tunduk pada pencipta dan diatur oleh pencipta. Keberadaan manusia dalam taman eden adalah wujud daripada kesempurnaan yang diberikan pencipta dalam menempatkan ciptaan. Namun kesempurnaan rancangan pencipta di hancurkan oleh ambisi manusia. Ciptaan yang sempurna menjadi gagal dihadapan pencipta yaitu ketika menerima tawaran iblis supaya harga dirinya meningkat menjadi sama dengan pencipta.
Manusia yang dijadikan dari tidak ada menjadi ada ingin supaya menjadi setara dengan penciptah yang maha ada. Ketika pikiran ingin menjadi seperti pencipta ini diwujudkan maka bukan keberhasilan yang diperolehnya namun sebuah kegagalan yang didapatkan. Ketika manusia gagal dan dinyatakan sudah berdosa, maka ukuran harga dirinyapun menjadi kacau. Ambisi manusia untuk menjadi seperti pencipta terus tertanam menjadi sifat egois, mau menang sendiri, merasa dirinya lebih utama dari yang lain dan ini terus diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh karena persoalan harga diri, bangsa dengan bangsa berperang. Karena harga diri Hitler menjadi pembantai 6 juta orang Yahudi. Demi harga diri terjadi pembantaian suku suku dan etnis diberbagai belahan dunia. Oleh karena harga diri banyak orang rela membunuh orang lain demi membela iman kepercayaannya.
Harga diri manusia harus dikembalikan pada posisi yang tepat, untuk hal ini pencipta sangat mengerti. Harga diri manusia oleh pencipta mau dikembalikan pada posisi yang sebenarnya yaitu sebagai ciptaan yang berharga di mata pencipta. Apa tindakan pencipta, untuk mengembalikan posisi manusia? tetapi ini adalah tindakan pencipta yang mau menurunkan harga dirinya sehingga sama dengan manusia
No comments:
Post a Comment