Monday, June 28, 2010


Pengaruh Uang
Dalam sistem demokrasi, khususnya yang berorientasi Barat, tidak dapat dihindari bahwa politik amat dipengaruhi uang. Hanya orang yang cukup keuangannya yang dapat aktif dalam proses politik. Pada permulaan diadakan sistem pemilihanhanya orang laki-laki dengan penghasilan atau membayar pajak dalam jumlah tertentu yang boleh ikut memilih dan dipilih. Jadi landasannya adalah uang dan bahwa kehidupan politik hanya terbuka bagi yang punya uang. Orang yang berambisi turut dalam proses politik harus bersaing dengan orang lain untuk dapat terpilih menjadi anggota legislatif atau eksekutif.
Persaingan itu akan dimenangkan oleh orang yang disukai banyak orang yang berhak memilih. Pandangan hidup yang diperjuangkannya, kecerdasannya, perilakunya, kemampuan untuk meyakinkan orang lain, itu semua berpengaruh apakah orang dapat memenangkan persaingan tersebut. Akan tetapi juga uang dan benda berpengaruh besar dalam memenangkan persaingan itu.
Tahun 1982 di Jepang seorang yang ingin berhasil dapat terpilih sebagai anggota DPR Pusat memerlukan tidak kurang dari Yen 200 juta (sekitar US$ 2 juta). Padahal Jepang adalah bangsa yang termasuk shame society yang cepat sekali mengecam perilaku yang tidak patut, khususnya menyangkut uang. Sebab itu tidak ringan bagi orang yang berambisi politik. Apalagi bagi orang yang memegang pimpinan faksi (faction) dalam partai. Ia harus mendukung semua anggota faksinya agar dapat terpilih dan dengan demikian memperkokoh posisi faksinya.
Sekarang pun dalam pemilihan Presiden AS terjadi persaingan kuat dalam pengumpulan dana. Menurut laporan Majalah Newsweek, untuk keluar sebagai calon presiden bagi Partai Demokrat saja para calonnya John Kerry, Howard Dean, dan lainnya harus bersaing keras untuk memperoleh dukungan dana yang besar. Apalagi kalau nanti menghadapi calon Partai Republik, yaitu Presiden George W. Bush, yang mendapat dukungan kaum modal besar dan katanya sudah berhasil mengumpulkan dana sebanyak US$ 170 juta.
Calon Presiden AS memerlukan banyak dana untuk membiayai stafnya yang umumnya sebagai profesional harus dibayar. Juga perjalanan keliling dengan naik pesawat, kereta api atau bus pun tidak murah. Yang paling mahal mungkin membayar penggunaan siaran TV.
Maka dapat dikatakan bahwa pengaruh uang terhadap politik besar sekali dan tidak terbatas pada penggunaannya yang kurang patut. Akibatnya, sekalipun demokrasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat, hanya kalangan tertentu saja yang dapat bergerak aktif dalam politik untuk menjadi calon legislatif dan eksekutif.
Maka jauh dari pasti bahwa yang terbaik akan tampil dan menang. Itu juga dapat dilihat ketika George W. Bush terpilih sebagai Presiden AS pada tahun 2000, sebab banyak orang Amerika dan dalam partainya sendiri sangsi akan kemampuannya. Kemudian juga terbukti keterbatasannya dalam pengetahuan mengenai bangsa lain.
Kekuatan Uang Hal itu juga terjadi di Indonesia, yaitu orang yang tidak mempunyai kekuatan uang tidak dapat menampilkan diri sebagai calon legislatif atau calon presiden. Kalau ia toh mencoba-coba melakukannya, ia akan kandas dalam waktu singkat. Inilah ironi demokrasi yang tak dapat dihindari. Kondisi demikian diperkuat oleh makin kuatnya pengaruh materialisme dalam kehidupan manusia. Orang-orang yang memperjuangkan peran moralitas yang kuat dalam kehidupan politik hampir tidak ada peluangnya. Satu-satunya peluang adalah kalau orang yang dipilih sebagai pimpinan nasional, terbukti menjalankan kepemimpinan yang kuat moralitasnya. Sekalipun ia terpilih melalui jalan yang tidak bebas dari pengaruh uang yang kuat.
Memang demikianlah realitas kehidupan yang tidak dapat dihindari. Alternatifnya adalah berlakunya sistem otoriter yang amat dipengaruhi kekuasaan fisik yang dengan sendirinya tidak disukai banyak orang, kecuali yang berkuasa.
Satu jalan keluar adalah apabila ada pihak yang kuat keuangannya, bersedia mendukung orang yang dalam pendapat masyarakat dinilai sebagai pemimpin yang tepat, tetapi tidak memiliki kekuatan uang yang memadai. Akan tetapi juga harus disertai syarat bahwa pihak yang mendukung tidak melakukan itu untuk memperkuat kepentingannya sendiri. Sebab kalau itu yang terjadi, orangnya yang terpilih harus sepenuhnya melayani kepentingan pendukung. Hal semacam itu tidak jarang terjadi di Amerika ketika pemodal besar tertentu memerlukan peran pemimpin eksekutif dan legislatif untuk menjamin kemajuan usahanya. Karena itu di AS ada banyak lobby, termasuk Jewish lobby yang tersohor kuat pengaruhnya.
Besarnya pengaruh uang terhadap politik dalam sistem demokrasi dapat menimbulkan kerawanan terhadap efisiensi pemerintahan. Partai politik yang berkuasa cenderung memanfaatkan keuangan negara untuk memperkuat dananya. Itu antara lain dapat dilakukan dengan menempatkan anggota partainya pada posisi yang me- nguasai banyak dana, padahal belum tentu anggota partai itu orang terbaik untuk jabatan tersebut.
Jalan lain adalah pemanfaatan tender untuk memenangkan perusahaan yang dekat dengan pimpinan partai. Juga di Indonesia hal itu sedang atau akan terjadi ketika partai-partai politik sangat memerlukan dana banyak.
Di banyak negara diadakan pengaturan untuk membatasi peran uang dalam kegiatan politik. Seperti dibatasi jumlah uang yang dapat disumbangkan kepada partai politik. Tetapi dalam kenyataan pengaturan itu tidak efektif. Selalu ada saja jalan bagi pengumpul dana untuk membesarkan dompetnya dan malahan tidak jarang ada pemimpin politik yang mengambil risiko untuk melanggar peraturan.
Kesimpulan yang kurang enak adalah bahwa dalam dunia ini yang berkuasa adalah uang dan mereka yang memilikinya. Kecuali kalau ada orang berkuasa yang sanggup memimpin dengan etika dan moralitas tinggi dan mampu untuk tidak dijatuhkan dalam waktu singkat oleh mereka yang berkepentingan dengan kekuasaan uang.

APAKAH praktik demokrasi yang didominasi kuasa uang kita biarkan begini terus? “Tidak”, jawab teman saya, “cepat atau lambat harus diubah.” Tapi, mungkinkah praktik seperti ini dibenahi? “Masih mungkin, tapi tidak sekarang. Butuh minimal segenerasi setelah kita,” jawab kawan lainnya. Inilah sepenggal obrolan beberapa rekan mantan aktivis mahasiswa yang kini bekerja sebagai staf ahli di DPR.
Obrolan itu menggambarkan, betapa risaunya kami melihat praktik berdemokrasi di negeri ini yang sangat ditentukan arahnya oleh kuasa uang. Tampaknya jika zaman Orde Lama berlaku slogan politik adalah panglima, dan era Orde Baru ekonomi sebagai panglima, maka sejak reformasi slogannya: uang sebagai panglima.
Dan sedihnya, fenomena itu berlaku sejak tingkat kampung hingga pusat. Di daerah saya di Jawa Tengah, untuk menjadi modin (semacam penghulu) yang dipilih Badan Perwakilan Desa (BPD) saja butuh sekitar Rp 100 juta. Dana ini untuk menyogok para anggota BPD dan menyumbang kas RT (Rukun Tetangga) di seantero desa itu. Jika ingin maju sebagai kepala desa perlu setidaknya setengah milyar rupiah, antara lain guna memuluskan proses administrasi, membayar tim sukses, dan dibagikan kepada calon pemilih.
Ini berlanjut terus, sampai ke kabupaten dan provinsi. Walhasil bisa dibuat hipotesis: kian tinggi jabatan publik diperebutkan, makin tinggi pula uang yang dibutuhkan buat meraihnya. Untuk membiayai kampanye caleg hingga terpilih sebagai anggota DPR saja minimal butuh Rp 2 milyar. Ongkos ini semakin tinggi untuk jabatan eksekutif, seperti walikota atau bupati. Untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, perlu Rp 100 milyar. Belum lagi untuk menjadi gubernur atau presiden. Proses bargaining politik di DPR atau DPRD juga tak lepas dari belitan kuasa uang.
Mungkinkah proses yang sangat “beruang” tadi menjamin munculnya pemimpin atau pejabat publik yang konsisten berkhidmat pada kepentingan rakyat? Saya sendiri, jujur saja, ragu. Apalagi fakta menjawabnya: Siapa pun yang berkuasa, rakyat cenderung menuai kecewa. Janji-janji tak pernah ditepati, dan politik sekadar arena politicking demi meraih konsesi sesaat semata.
Apa yang salah, sehingga demokratisasi justru berimplikasi pada begitu hegemoniknya kuasa uang? Apa pula yang bisa dilakukan untuk membenahinya?
Deideologisasi Orde Baru
Terlepas apa pun ideologinya, ada yang patut dikagumi pada tokoh politik tempo doeloe atau era Orde Lama. Mereka rata-rata sederhana kehidupannya, tapi amat heroik memperjuangkan kepentingan rakyat, sesuai frame ideologinya masing-masing. Meski komitmen ideologis ini kadang terasa berlebihan, karena menyentuh pula upaya mengajukan dasar negara alternatif, sehingga berakibat proses politik buntu dan mengancam integrasi bangsa.
Fenomena over-ideologi itu mendorong adanya upaya deparpolisasi pada masa akhir Soekarno dan berlanjut deideologisasi pada era Soeharto. Deideologisasi menjadikan aspek ideologi seakan tidak penting lagi bagi suatu kekuatan politik atau parpol. Apalagi fungsi partai juga dibonsai sedemikian rupa, sehingga tidak berdaya. Tak mengherankan jika partai atau organisasi politik pada era Orde Baru hanya menarik bagi kaum oportunis yang bersedia didikte oleh penguasa.
Ironisnya, setelah reformasi dan kita masuk era demokratis, ternyata tidak ada proses reideologisasi yang serius dilakukan oleh jajaran partai-partai politik. Hanya satu dua partai kecil yang justru terlihat bersungguh-sungguh menggarap aspek pendidikan ideologi ini. Karena itu, tak mengherankan pula, jika dalam situasi vakum ideologi ini, yang muncul akhirnya ialah gejala pragmatisme yang bermuara pada dominannya kuasa uang tadi.
Hasilnya, orang-orang pun seolah tak peduli lagi memilih atau masuk partai apa, yang penting dengan uangnya ia bisa menjadi anggota legislatif, kepala daerah, atau presiden. Dalam kondisi ini, partai hanya menjadi kendaraan politik bagi para kandidat dan sekadar menjalankan fungsi sebagai broker politik atau makelar jabatan.
Implikasinya, setelah meraih posisi yang diinginkan, seorang pejabat publik kerap tidak lagi peduli kepada ideologi atau platform partai pendukungnya. Bahkan mereka tidak segan-segan menyeberang ke partai berbeda. Toh sebagai pejabat yang tengah berkuasa atau incumbent, jika ia ingin maju lagi dalam kompetisi politik berikutnya, bisa saja mendompleng partai lainnya. Syarat merangkul partai lain ini pun relatif mudah: cukup menyediakan “mahar” sekian miliar.
Maka, yang memenuhi benak pejabat tadi ialah: bagaimana memaksimalkan potensi kedudukannya demi mengembalikan modal, seraya menyiapkan dana “mahar” untuk maju pada periode mendatang. Bahkan, seperti saudagar, ia bukan saja mengupayakan kembali modal dan bisa menabung “mahar”, melainkan bisa pula meraih laba dari modal yang ditanamnya. Janji-janji kepada konstituen, atau komitmen ideologis, pada akhirnya hanya menjadi instrumen untuk berkuasa belaka.
Kiranya inilah yang menjelaskan, mengapa muncul fenomena korupsi berjamaah para politisi di daerah. Juga maraknya korupsi para kepala daerah dan begitu dominannya kuasa uang dalam proses politik di lembaga legislatif di tingkat pusat. Sebab, ketika ideologi tidak ada lagi atau tak dijadikan acuan, yang mengedepan ialah urusan perut belaka: pragmatisme dan egoisme pribadi. Sikap politisi atau pejabat politik pun tergantung kepentingan pribadinya, atau siapa yang bisa membayarnya, bukan apa ideologinya atau siapa pemilihnya.
Dalam konteks ini, sejatinya masih lebih terhormat sikap politisi tempo doeloe –yang secara naif sering ngotot memperjuangkan ideologinya— daripada para politisi yang acuannya hanya uang atau vested interest (kepentingan pribadi) sesaat. Sebab, yang pertama lebih tegas posisioningnya dan tak bisa dibeli, sedangkan yang kedua bisa disebut melacurkan diri, dan karena itu, bisa dibeli oleh siapapun asal berkantong tebal.
Back to IdeologyGuna mengatasi persoalan di atas, salah satu solusi yang bisa ditawarkan ialah: partai-partai memiliki urgensi untuk melakukan reideologisasi ke dalam internal kader atau organnya masing-masing. Namun, agar tak mengulang kesalahan era Orde Lama, hendaknya reideologisasi tidak lagi menyoal posisi Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi negara sudah final, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan Pembukaan UUD 1945 adalah prinsip dasar bernegara yang tak bisa kita ubah. Mengubah Pembukaan UUD 1945, yang memuat suasana batin proklamasi 17 Agustus 1945, sama saja hendak merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai implikasinya, mestinya juga tidak ada lagi partai yang mempolitisasi Pancasila, misalnya dengan mengklaim seolah-olah hanya kelompoknya sendiri yang akan mempertahankan Pancasila, namun dengan maksud tersembunyi hendak menyerang partai lain sebagai kurang atau tidak Pancasilais. Klaim-klaim demikian tidak relevan lagi jika diletakkan dalam konteks bahwa Pancasila sebagai ideologi bersama sudah bersifat final dan diterima oleh semua kelompok.
Karena itu, reideologisasi idealnya hanya bermain pada tataran sejauhmana partai-partai akan mengimplementasikan tujuan negara sesuai visi dan misi masing-masing. Dalam posisi ini, ideologi partai hanyalah aksentuasi salah satu atau semua aspek tujuan bernegara dilihat dari sudut visi dan misi partai. Dengan kata lain, kompetisi antarpartai adalah dalam level implementasi Pancasila.
Pancasila sendiri harus didudukkan sebagai ideologi negara yang berfungsi sebagai pemersatu atau –meminjam istilah Cak Nur (Nurcholish Madjid) – common denominator (titik temu) di antara ideologi partai yang beragam. Mengklaim Pancasila sebagai hanya milik partai tertentu justru mereduksi posisi Pancasila sebagai ideologi pemersatu ini.
Selayaknya hanya TNI, Polri, aparat birokrasi, dan lembaga-lembaga negara yang tidak partisan, yang secara etis bisa mengklaim berideologi Pancasila. Sedangkan jika partai-partai melakukan klaim atas Pancasila, dikhawatirkan sekadar melakukan politisasi atas Pancasila. Seperti PKI pernah merebut kata “rakyat” dan Masyumi merebut kata “umat”: dua kata yang sebetulnya milik bersama seluruh bangsa. []

No comments: